MATERI UJIAN QIRO’AH AL KUTUB FATH AL MU’IN
KELAS 3 ALIYAH MAQSU, 02 MEI 2012
( فرع ) لو قال الولي زوجتكها
بمهر كذا فقال الزوج قبلت نكاحها ولم يقل
على هذا الصداق صح النكاح بمهر المثل خلافا للبارزي ( لا ) يصح النكاح مع ( تعليق
) كالبيع بل أولى لاختصاصه بمزيد الاحتياط كأن يقول الأب للآخر إن كانت بنتي طلقت أو
اعتدت فقد زوجتكها فقبل ثم بان انقضاء عدتها وأنها أذنت له فلا يصح لفساد الصيغة بالتعليق
وبحث بعضهم الصحة في إن كانت فلانة موليتي فقد زوجتكها وفي زوجتك إن شئت كالبيع إذ
لا تعليق في الحقيقة
( و ) لا مع ( تأقيت ) للنكاح بمدة معلومة أو مجهولة فيفسد
لصحة النهي عن نكاح المتعة وهو المؤقت ولو بألف سنة وليس منه ما لو قال زوجتكها مدة
حياتك أو حياتها لأنه مقتضى العقد بل يبقى أثره بعد الموت ويلزمه في نكاح المتعة المهر
والنسب والعدة ويسقط الحد إن عقد بولي وشاهدين فإن عقد بينه وبين المرأة وجب الحمد
إن وطىء وحيث وجب الحد لم يثبت المهر ولا ما بعده وينعقد النكاح بلا ذكر مهر في العقد بل يسن ذكره فيه وكره إخلاؤه عنه نعم لو زوج أمته بعيده لم يستحب ( و ) شرط ( في الزوجة
) أي المنكوحة ( خلو من نكاح وعدة ) من غيره ( وتعيين ) لها فزوجتك إحدى بناتي باطل ولو مع الإشارة ويكفي التعيين
بوصف أو إشارة كزوجتك بنتي وليس له غيرها أو التي في الدار وليس فيها غيرها أو هذه
وإن سماها بغير اسمها في الكل بخلاف زوجتك فاطمة وإن كان اسم بنته إلا إن نوياها ولو
قال زوجتك بنتي الكبرى وسماها باسم الصغرى صح في الكبرى لأن الكبر صفة قائمة بذاتها
بخلاف الإسم فقدم عليه ولو قال زوجتك بنتي خديجة فبانت بنت ابنه صح إن نوياها أو عينها
بإشارة أو لم يعرف لصلبه غيرها وإلا فلا ( و ) شرط فيها أيضا ( عدم محرمية ) بينها
وبين الخاطب ( بنسب فيحرم ) به آخر
لآية { حرمت عليكم } نساء قرابة غير ما دخل في ( ولد عمومة وخؤولة ) فحينئذ يحرم نكاح
أم وهي من ولدتك أو ولدت من ولدك ذكرا كان أو أنثى وهي الجدة من الجهتين وبنت وهي من
ولدتها أو ولدت من ولدها ذكرا كان أو أنثى لا مخلوقة من ماء زناه وأخت وبنت أخ وأخت
وعمة وهي أخت ذكر ولدك وخالة وهي أخت أنثى ولدتك
TERJEMAH
CABANG
Apabila
wali berkata “ Kukawinkan kamu dengan puteri perwalianku dengan mas kawin
sekian”, lalu calon suami menjawab “ kuterima nikahnya”, tanpa menyebutkan mas
kawinnya, maka sah akad nikah dengan kewajiban membayar mas kawin mistli, lain
halnya dengan pendapat Imam Bariziy yang mengatakan tidak sah.
Menta’liq
nikah hukumnya tidak sah, sebagaimana jual beli, bahkan salam ta’liq nikah
mempunyai nilai lebih ketidaksahannya, karena ada kekhususan penambahan sikap
hati-hati. Misalnya seorang ayah berkata “ jika puteriku telah cerai dan habis
masa idahnya, maka kamu kukawinkan dengannya”, lalu orang lain tersebut, qobul,
kemudian ternyata wanita tersebut telah iddah dan memberi izin, maka akad nikah
disini tidak sah, lantaran sighot nikah mengalami kerusakan sebab ta’liq.
Sebagaimana
Fuqoha’ membahas kesalahan ijab seperti ini: “jika si Fulanah menjadi
perwalianku, maka kamu kunikahkan dengannya”, dan “kamu kunikahkan jika kamu
menginginkan”, sebab disini pada hakikatnya tidak ada ta’liq, sebagaimana didalam
jual beli.
Nikah
tidak sah dengan dibatasi berlakunya, baik pembatasan waktu yang maklum atau
tidak, sebab ada kesahihan larangan dalam nikah mut’ah (kawin kontrak), yaitu
kawin yang dibatasi waktu pertaliannya, sekalipun seribu tahun.
Tidak
termasuk nikah yang dibatasi waktunya, bila wali berkata:” kukawinkan kamu
selama masa hidupmu atau hidup wanita pertaliannya”, karena masa itulah tempo
pertalian akad nikah, bahkan akibat nikah itu ada yang sampai setelah mati
(misalnya memandikan dan pewarisan harta pusakanya).
Dalam
nikah mut’ah, pihak laki-laki yang menyetubuhi wanita wajib membayar mahar.
Bertemunya nasab anak yang dilahirkan bagi pihak wanitanya diberlakukan masa
iddah.
Dalam
nikah mut’ah pihak suami tidak dapat dikenai had, jika dinikahkan dengan
menggunakan wali dan 2 saksi. Bila akad nikah dilakukan hanya antara laki-laki
dan wanita, maka ia wajib dihad. Adapun jika hukum had dikenakan padanya, maka
kewajiban membayar mahar ditiadakan, begitu pula hubungan nasab dan masa iddah
untuk wanita tersebut.
Akad
nikah tetap sah tanpa menyebutkan mahar ketika akad, tetapi penuturan mahar
ketika akad hukumnya sunnah, dan makruh jika tidak menyebutkannya. Tetapi jika
seseorang mengawinkan budak perempuannya
dengan budak laki-lakinya sendiri, maka tidak sunnah menuturkan ketika akad.
Syarat
calon istri. Tidak menjadi istri orang lain dan tidak berada daam masa iddah
dengan suami yang lain.
Disyaratkan
pula ta’yin (menentukan) terhadap calon istri, karena itu, ijab dengan semacam
:” kamu kunikahkan dengan salah satu, anak-anak puteriku”, adalah tidak sah,
sekalipun disertai syarat.
Penentuan
sudah bisa dianggap cukup dengan menyebutkan sifat atau isyarat, misalnya : “
kamu kukawinkan dengan puteriku”, sedang ia hanya mempunyai satu puteri itu
saja, atau”, yang ada didalam rumah”, sedang yang didalam hanya puterinya saja,
atau” wanita ini”, sekalipun dalam ketiga contoh tersebut nama wanita yang
disebutkan nama sesungguhnya.
Lain
halnya dengan “ kamu kukawinkan dengan Fatimah “ ( tanpa menyebutkan “anak puteriku”),
sekalipun Fatimah itu nama anak
puterinya, kecuali jika kedua belah pihak (wali dan calon suami) meniatkan
Fatimah yang menjadi anak puterinya.
Bila
wali berkata “ kamu kunikahkan dengan anak puteriku yang tua”, dan menyebutkan
nama puterinya yang muda, maka akad nikah untuk yang tua, sebab tua itu sifat
yang berdiri pada dirinya, berbeda dengan nama , karena itu bisa dimenangkan
dari pada nama.
Bila
wali berkata “ kamu kunikahkan dengan anak puteriku, Khadijah” dan ternyata
Khadijah itu cucu dari anak laki-lakinya, maka akad nikah hukumnya sah, jika
kedua belah pihak berniat Khadijah yang menjadi cucunya, menentukan dengan
isyarat atau cucunya hanya Khadijah.
Kalau tidak begitu, maka akad nikah tidak sah.
Disyaratkan
pula bagi calon istri tidak ada hubungan mahram antara dia dan peminang dengan
pertalian nasab.
Karena
itu, jika ada pertalian nasab, maka haram mengawini wanita-wanita kerabat yang
selain masuk dalam derajat saudara sepupu dari pihak ayah atau ibu, karena
bedasar ayat : “diharamkan atas kamu………” QS. An Nisa’ : 23.
Kalau
begitu, haram menikahi :
1.
Ibu : yaitu wanita yang
melahirkanmu, atau wanita yang melahirkan ayah atau ibumu. (nenek dari ayah
atau ibu).
2. Anak perempuan : yaitu wanita yang
kamu lahirkan atau wanita yang lahir dari anak laki-laki/perempuanmu (cucu),
tidak haram menikahi anak perempuan dari hasil perzinaan sendiri.
3.
Saudara perempuan
4.
Keponakan perempuan dari saudara
laki-laki.
5.
Keponakan perempuan dari saudara
perempuan.
6.
Bibi dari ayah yaitu wanita yang
menjadi saudara perempuan laki-laki yang melahirkanmu.
7.
Bibi dari bu yaitu wanita yang
menjadi saudara perempuan yang melahirkanmu.
By : MASKOB, el
Qodiriy
Semanding, 01
Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar