SELAYANG PANDANG
PONDOK PESANTREN SIROJUL ‘ULUM
H.
Abdul Wahhab, nama pemilik tanah yang diatasnya didirikan bangunan pondok
pesantren yang semula hanya berbentuk musholla kecil. Beliau bukan seorang alim
atau pandai dalam ilmu agama, namun beliau sangat mencintai alim ulama' dan
mempunyai cita-cita yang tinggi untuk perkembangan ilmu agama. Untuk mewujudkan
cita-citanya itu, beliau mencari seorang menantu yang dapat mengerti atau
memahami ilmu agama dan mampu memimpin, mengurusi, serta mengisi pondok pesantren
yang telah dibangunnya itu dengan ilmu-ilmunya.
Akhirnya
Allah SWT. Mengabulkan cita-cita H. Abdul Wahhab. Beliau mendapatkan seorang
menantu yang diharapkan dapat mewujudkan cita- citanya. Menantu itu bernama
Kiai Abdul Kohar yang dinikahkan dengan putri beliau yang bernama Nyai
Juyyinah. Namun cobaan yang dilalui H.
Abdul Wahhab untuk mensyiarkan agama Allah begitu berat. Setelah Nyai Juyinah
dikaruniai dua putra, Kiai Abdul Kohar meninggal dunia. Usaha H. Abdul Wahab tidak berhenti sampai disitu.
Nyai Juyyinah dinikahkan kembali dengan seorang yang diharapkan mampu
memperjuangkan cita-cita beliau, dia adalah H. Sholihan. Namun bahtera
kehidupan rumah tangga Nyai Juyyinah yang kedua ini tidak jauh beda dengan yang
pertama. Setelah dikaruniai dua orang putera, Nyai Juyyinah harus menjanda yang
kedua kalinya karena sang suami dipanggil oleh Allah untuk selama-lamanya.
Karena
Musholla masih belum ada yang mengisi, maka H. Abdul Wahab tidak putus asa
dengan kejadian- kejadian yang telah lampau. Beliau menikahkan Nyai Juyyinah untuk yang ketiga kalinya. Pada
pernikahan yang ketiga kalinya ini Nyai Juyyinah mendapatkan jodoh seorang duda
dengan dua anak, yaitu H. Usman. Cerita kehidupan Nyai Juyyinah ternyata tidak
beda dengan rumah tangga yang telah dilaluinya. Setelah mendapatkan dua orang
putra, beliau harus menjanda yang ketiga kalinya karena sang suami di panggil
oleh Allah SWT.
Dari
ketiga pernikahan itu, yang meneruskan estafet perjuangan agama islam di
Semanding adalah keturunan dari H.Sholihin yang perkembangannya menjadi pondok
pesantren sampai sekarang ini. Beliau mempunyai dua orang putri, yaitu Sulinah
dan Sabi'um. Nyai Sulinah dinikahkan dengan KH. Abdullah Anshori yang kemudian
dikenal sebagai Pendiri Pondok pesantren periode pertama sekitar tahun 1904.
Dari pernikahan KH. Abdulloh Anshori dengan Nyai Sulinah yang kemudian
mempunyai putri yang bernama Nyai Siti Asiyah (wafat tahun 2009) --dimakamkan
di komplek pemakaman keluarga Pondok Pesantren Sirojul Ulum--. Nyai Siti Asiyah
dinikahi oleh KH. Abdul Syukur yang dikemudian hari mempunyai beberapa putra
dan putri, yang salah satunya bernama Nyai Muzdalifah istri dari Hadhrotus
Syaikh KH. Muhsin Isman --Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidhil Qur'an Sirojul
Ulum sekarang ini--.
Pada
awal berdirinya, pondok pesantren ini berkonsentrasi pada pendalaman
kitab-kitab salaf. Namun ketika kepemimpinan pondok pesantren dipegang oleh KH
Muhsin Isman, terjadi penambahan materi pendidikan, yaitu program tahafudhul
Qur'an yang menjadi bidang keahlian dari KH. Muhsin Isman. Program ini secara
tidak langsung berpengaruh pada nama pesantren yang mendapat tambahan
“TAHFIDHIL QUR'AN” yang menunjukkan bahwa pondok ini berkonsentrasi pada bidang
menghafal al Qur'an, sehingga nama pondok yang dahulu Pondok Pesantren Sirojul
'Ulum berubah menjadi Pondok Pesantren Tahfidhil Qur'an Sirojul 'Ulum.
Penambahan
materi ini dimulai sejak KH. Muhsin Isman menempati rumah baru yang terletak di
samping rumah mertuanya. Dan juga atas usulan para Kiai sepuh diantaranya KH.
Imam Thoha dari desa Sukorejo Plemahan Kediri sekitar tahun 1984, tujuannya
untuk melestarikan al Qur'an dan mencetak para penghafal al Qur'an (huffadh)
yang mempunyai wawasan keagamaan yang mumpuni dan sifat amanah dalam
mengembangkan serta melestarikan al Qur'an di kalangan masyarakat. Perpindahan
beliau ini diikuti oleh 14 santri putra dan putri. Semua tinggal dalam satu
rumah dengan Kiai. Pada mulanya dengan nama dan program ini pondok pesantren
terkhusus bagi santri yang menghafal al Qur'an, namun dikemudian hari nama
tahfidhil Qur'an tidak hanya khusus bagi santri tahfidh saja, karena dalam
perkembangannya pondok pesantren juga mendirikan madrasah diniyah salafiyah
yang diberi nama Madrasatul Qur'an Sirojul 'Ulum atau lebih dikenal dengan
istilah MAQSU. Sebelum berdiri madarasah tersebut, sebenarnya sudah ada
pengajian kitab-kitab klasik/kitab kuning yang manggunakan sistem bandongan
atau sorogan dikarenakan jumlah santri yang belum terlalu banyak.
Dalam
menyikapi perkembangan zaman serta atas usulan dari wali santri dan alumni agar
santri pondok pesantren tidak hanya menguasai ilmu keagamaan saja, namun juga
dituntut untuk bisa menguasai ilmu pengetahuan yang bersifat umum. Maka pada
tahun 1989 didirikan Roudlotul Athfal (RA) Sirojul dan selanjutnya untuk melanjutkan
jenjang pendidikan pada tahun 1991 didirikan Madrasah Ibtida'iyah (MI) Sirojul
'Ulum. Seiring dengan adanya berbagai lembaga yang telah berdiri dan belum ada
wadah organisasi yang menyatukan, maka berdirilah Yayasan Pendidikan Islam
(YPI) Sunan Ampel pada tahun 1997 bersamaan dengan berdirinya Madrasah
Tsanawiyah (MTs) Sunan Ampel yang telah berhasil meluluskan siswa pertamanya
pada tahun 2000. Pada tahun yang sama didirikan Madarasah Aliyah (MA) Sunan
Ampel guna untuk menampung siswa/siswi lulusan MTs, yang pada saat itu hanya membuka jurusan ilmu pengetahuan
sosial. Hingga saat ini Madrasal Aliyah telah membuka tiga jurusan yaitu ilmu
pengetahuan alam (IPA), ilmu pengetahuan sosial (IPS) dan jurusan agama (Ag). Sedangkan
jumlah santri Pondok Pesantren Tahfidhil Qur'an Sirojul 'Ulum hingga saat ini
sekitar 500 santri, jumlah alumni putra sekitar 795, alumni putri sekitar 784
dan alumni huffadh sekitar 152 yang berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia bahkan
ada yang berasal dari Negeri Jiran Malaysia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar